Perjalanan hidup adalah skenario takdir, sulit diikuti, sukar pula
untuk kita jelajahi episode episode berikutnya. Menapaki satu persatu
tangga takdir tidak semudah memainkan alat musik yang dapat dengan mudah
kita intuisikan dengan setiap ritme kegemaran.
Sangat manusiawi dalam hidup menginginkan selalu berkecukupan, namun
tentunya harus direnungkan, keinginan adalah ritme manusia bukan ritme
penciptanya. Lalu di mana letak rahasia itu tersimpan ?
Marilah kita rekam sekaligus kita renungkan hikmah dan renungan
as-Syuura sebagai paket spesial al-Qur’an dalam memahami makna dan
artikulasi antara hamba berizqi dan berkekurangan.
Allah berfirman dalam ayat ke 19 :
اللَّهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيزُ (19)
“Allah Maha Lembut terhadap
hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan
Dialah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (19)”
Dalam pandangan Ja’far bin Muhammad bin Aly bin Husain, Allah
bersikap lembut terhadap makhluqnya dalam pemberian rizqi dapat ditinjau
dari dua arah. Pertama, Allah memilihkan rizqi untuk hamba hambanya dari hal hal yang baik. Kedua,
rizqi tidak diberikan dalam satu tempo sekaligus, akan tetapi
dianugerahkan dengan jalan bertahap. Sehingga dengan itu makhluq tidak
akan menyia nyiakan (tabdzir) pada rizqi yang telah diberikan.
Allah menganugerahkan rizqi kepada siapapun yang dikehendaki Nya.
Terkadang melebihkan rizqi seseorang dari pada orang lain. Ini bukan
berarti bentuk ketidak adilan atau kedzaliman. Hikmah yang dapat dipetik
dari ini adalah keseimbangan kehidupan yang berlangsung di muka bumi.
Perbedaan dalam pendapatan rizki akan dapat menciptakan kondisi saling
membutuhkan antara satu dengan yang lain. Yang merasa kaya akan
membutuhkan tenaga seseorang dalam mengelola harta bendanya. Sebaliknya,
yang berkekurangan akan dapat menyumbangkan tenaganya demi hajat mereka
atas harta si kaya.
Di sisi lain dapat pula kita fahami, bahwa kekayaan dan kefakiran
adalah bentuk cobaan. Bagaimana si kaya bersikap kepada yang fakir dan
apa sikap yang ditampakkan si fakir terhadap yang kaya. Kemudian akan
dapat dilihat seberapa besar kesabaran mereka dalam menanggung cobaannya
masing masing.
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ (20)
“Barangsiapa yang menghendaki
keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan
barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun
di akhirat. (20)”
Sebagaimana diungkapkan Al Qusyairi, ayat ini adalah sebuah
peringatan bagi setiap manusia agar tidak terbujuk oleh kehidupan dunia
seperti yang telah terjadi pada orang orang kafir.
Imam Qatadah menyampaikan pemahaman menarik mengenai ayat ini. Beliau
mengatakan, pada hakekatnya Allah akan tetap selalu memberikan apapun
yang manusia inginkan dari kepentingan dunia selama orientasi hidupnya
tetap dalam bingkai kepentingan akhirat. Dan sebaliknya, manusia hanya
akan mendapatkan jatah duniawi belaka tatkala orientasi hidupnya
hanyalah untuk urusan dunia. Allah telah berjanji, selama seorang hamba
masih teguh memperjuangkan amal-amal akhirat, Dia akan selalu
menambahkan pahala demi pahala, sekaligus menjamin porsi rizki yang
tertulis untuknya. Sedangkan bagi mereka yang melalaikan akhirat, sibuk
memakmurkan dunia, maka hanya penantian siksa yang akan menjadi jatahnya
kelak dan ia pun tidak kuasa mendapatkan lebih kecuali atas porsi rizki
dunianya.
Tujuan final dari amal dan perilaku kita atas dunia adalah akhirat.
Segala bentuk tindakan yang terarahkan pada tujuan ini, sekalipun
bernafaskan duniawi, Allah menjajikan kelipatan pahala perbuatannya
tanpa mengenyampingkan kepentingan dunianya. Namum manakala tujuan ini
telah berbalik arah, menempatkan dunia sebagai tempat tujuannya, maka
siksa yang telah diancamkan Alloh akan menanti. Sebagaimana ancaman
Allah terhadap orang orang kafir Makkah yang telah menuruti tuntunan dan
bisikan teman sekutunya (syaitan). Seperti yang tertuang dalam ayat
berikut.
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (21) تَرَى الظَّالِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا كَسَبُوا وَهُوَ وَاقِعٌ بِهِمْ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فِي رَوْضَاتِ الْجَنَّاتِ لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ (22)
“Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan
(dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya
orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih (21)
Kamu lihat orang-orang yang zalim sangat ketakutan karena
kejahatan-kejahatan yang telah mereka kerjakan, sedang siksaan menimpa
mereka. Dan orang-orang yang saleh (berada) di dalam taman-taman surga,
mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang
demikian itu adalah karunia yang besar(22).”
Perjuangan menanamkan kasih sayang nampak disinggung bagi Nabi. Allah
juga menyerukan kepada Nabi untuk meminta kaum Quraysh menghentikan
segala permusuhan dan hidup dalam kebersamaan. Dan sebagai contoh
langsung bentuk amal yang berorientasikan akhirat murni, Alloh
menyerukan kepada Rosululloh untuk tidak menuntut imbalan atas usahanya
dalam menyampaikan risalah.
Allah telah menjanjikan “karunia yang besar”, dan bukan itu saja,
dijanjikan pula pahala yang besar bagi mereka yang mau beramal kebaikan
dengan kelipatan pahala di akhirat. Sedangkan bagi mereka yang tetap
asyik dengan kekafirannya, telah diperingatkan akan adanya siksa yang
teramat pedih. Kecuali bagi mereka yang mau bertaubat dan menghentikan
segala bentuk pembangkangan terhadap Allah, penyesalan dan taubat mereka
tidak akan pernah disia siakan Alloh. Hal ini bisa kita simak dalam
ayat selanjutnya :
ذَلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ (23) أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا فَإِنْ يَشَأِ اللَّهُ يَخْتِمْ عَلَى قَلْبِكَ وَيَمْحُ اللَّهُ الْبَاطِلَ وَيُحِقُّ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (24) وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ (25) وَيَسْتَجِيبُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَيَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَالْكَافِرُونَ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ (26)
“Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan
hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Katakanlah:
“Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih
sayang dalam kekeluargaan”. Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan
Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (23) Bahkan mereka mengatakan: “Dia
(Muhammad) telah mengada-adakan dusta terhadap Allah”. Maka jika Allah
menghendaki niscaya Dia mengunci mati hatimu; dan Allah menghapuskan
yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimat-kalimat-Nya (Al
Qur’an). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati (24) Dan
Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan
kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan (25) dan Dia
memperkenankan (do`a) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal
yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. Dan
orang-orang yang kafir bagi mereka azab yang sangat keras”(26).
Memantapkan nilai hikmah yang terkandung dalam beberapa ayat di atas, Allah juga berfirman dalam ayat ke 27 :
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ (27)
“Dan jikalau Allah melapangkan rezki
kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka
bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran.
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha
Melihat”.
Dengan hikmah dari ayat ini, sekarang dapat kita rasakan betapa
Allah adalah Sang Maha Pengatur yang tidak ada duanya. Ritme kehidupan
terasa begitu indah kita jalani. Mungkin perasaan kita bertanya-tanya,
di mana letak kekeliruan manusia dalam tindakan yang melampaui batas
ketika mereka dianugerahi nikmat harta yang sepadan ?.
Para mufassir telah menelaah hal ini dalam beberapa sudut pandang rasional.
Pertama, andai saja terjadi semua manusia memiliki
kelapangan rizki sepadan, niscaya tidak ada lagi istilah membutuhkan
maupun dibutuhkan, yang artinya tidak akan ada interaksi. Interaksi
adalah keseimbangan, sehingga musnahnya interaksi adalah terganggunya
keseimbangan kehidupan dan kemaslahatan.
Kedua, spesifikasi ayat ini adalah untuk bangsa Arab, dimana
ketika mereka semua diberikan nikmat rejeki yang sama, dengan air hujan
mereka sudah mendapatkan kesegaran, dari tumbuh-tumbuhan mereka sudah
bisa menghilangkan rasa lapar dan dari segala apa yang ada semua menjadi
surga, maka niscaya sehari-harinya mereka hanya akan menjadi penjahat
dan perompak yang menjarah kekayaan orang lain.
Ketiga, selain kedua hal di atas, manusia memiliki tabiat
asli yang berupa kesombongan dalam dirinya. Sehingga ketika manusia
merasakan nikmat kaya raya dengan harta yang melimpah ruah, niscaya
mereka akan kembali pada tabiat aslinya, menjadi penyombong. Sedangkan
ketika berada pada posisi kesulitan, tertimpa bencana dan kesedihan
mendalam dengan serta merta mereka akan bersikap tawadlu‘ dan taat.
Ibn Abbas mengatakan, manusia dikatakan melampaui batas karena mereka
akan selalu memburu kedudukan yang lain setelah memperoleh kedudukan
yang ia raih, bersaing mendapatkan kendaraan, setelah kendaraan yang
lain ia dapatkan dan berlomba busana setelah ia miliki busana mewah yang
lain.
Sebuah maqalah mungkin akan menyadarkan kita; “Andai saja manusia
diberikan sesuatu yang banyak niscaya ia meminta yang terbanyak dan
andaikan dia telah kuasai dua tambang emas ia akan melakukan apapun
untuk mendapatkan tambang yang ketiga”.
Kesempitan dalam rizki bukanlah suatu kehinaan, dan kelapangan dalam
rizki bukanlah suatu keutamaan. Segala apa pun yang diperbuat Alloh akan
selalu dalam bingkai “maslahat”, meskipun itu bukan suatu keharusan
bagi Nya. Allah maha tahu atas apa yang terbaik dan yang dibutuhkan
hambanya. Seorang mu’min dianugerahi kelapangan rizki, karena Allah tahu
bahwa itu yang terbaik untuknya. Andai saja ia diberi kesulitan dalam
hal rizki, mungkin justru ia akan berbuat kerusakan. Dan seorang mu’min
dianugerahi kesempitan dalam rizki, karena Allah pun tahu bahwa itu yang
terbaik untuknya. Andai saja ia diberi kelapangan rizki, mungkin justru
ia akan berbuat kerusakan. Menyesatkan dirinya sendiri dan melalaikan
tugasnya sebagai hamba Allah.
Menurut sebagian tafsiran, ayat di atas terkait dengan pemahaman ayat ke 28, di mana Allah berfirman :
وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ (28)
“Dan Dialah Yang menurunkan hujan
sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang
Maha Pelindung lagi Maha Terpuji“.
Maksudnya, seandainya Allah memberikan limpahan rizki berupa hujan
yang terus menerus mengguyur muka bumi, niscaya manusia tidak akan
mengangkat kedua tangannya untuk memohon kepada Allah. Sehingga dapat
kita lihat, adakalanya manusia menengadahkan kedua tangannya dengan
bersimpuh dan di lain waktu mereka membuka kedua tangannya untuk
bersyukur. Hingga kemudian Allah menegaskan dalam ayat ke 28 bahwa hujan
maupun kekeringan di bumi adalah hikmah ketuhanan, dimana Allah
menunjukkan kekuasaanNya setelah semua makhluk tidak mampu berbicara dan
berputus asa untuk mendatangkan setetes air penyejuk bumi. Allah pun
menyebarkan rahmat yang menurut sebagian tafsiran berupa berkah dan
manfaat air hujan yang bisa kita saksikan dengan jelas di julangan
gunung, jurang, tumbuh-tumbuhan dan makhluk bumi lainnya. Sungguh besar
kekuasaan Allah, Tuhan semesta alam…!
* Ust. Fauzi Hamzah & Ust. Darul Azka
bagaimana pemahaman mengenai simiskin, apabila dia susah utk mencari nafkah yg akhirnya dia melakukan kejahatan utk bisa mempertahankan kehidupannya, sedang sikaya akan lebih mudah utk bisa berbuat banyak, seperti menjalani kehidupan lebih enak dan bisa lebih banyak melakukan amal sholehanya dll
BalasHapus